Selasa, 07 Januari 2014

PROSES INPUT, KONVERSI DAN OUTPUT DALAM SISTEM POLITIK

TINJAUAN PUSTAKA DAN TEORI YANG RELEVAN

PENDEKATAN DALAM ANALISIS SISTEM POLITIK

Analisis Sistem Politik Menurut David Easton

Pendekatan sistem politik pada mulanya terbentuk dengan mengacu pada pendekatan yang terdapat dalam ilmu eksakta. Adapun untuk membedakan sistem politik dengan sistem yang lain maka dapat dilihat dari definisi politik itu sendiri. Sebagai suatu sistem, sistem politik memiliki ciri-ciri tertentu. Perbedaan pendapat mulai muncul ketika harus menentukan batas antara sistem politik dengan sistem lain yang terdapat dalam lingkungan sistem politik. Namun demikian, batas akan dapat dilihat apabila kita dapat memahami tindakan politik sebagai sebuah tindakan yang ingin berkaitan dengan pembuatan keputusan yang menyangkut publik. Perbedaan sistem politik dengan sistem yang lain, tidak menjadikan jurang pemisah antara sistem politik dengan sistem yang lain. Sebuah sistem dapat menjadi input bagi sistem yang lain. Dalam sistem politik terdapat pembagian kerja antaranggotanya. Pembagian kerja yang ada tidak akan menghancurkan sistem politik karena ada fungsi integratif dalam sistem politik.

Input, Output, dan Lingkungan dalam Sistem Politik

Input dalam sistem politik dibedakan menjadi dua, yaitu tuntutan dan dukungan. Input yang berupa tuntutan muncul sebagai konsekuensi dari kelangkaan atas berbagai sumber-sumber yang langka dalam masyarakat (kebutuhan). Input tidak akan sampai (masuk) secara baik dalam sistem politik jika tidak terorganisir secara baik. Oleh sebab itu komunikasi politik menjadi bagian penting dalam hal ini. Terdapat perbedaan tipe komunikasi politik di negara yang demokratis dengan negara yang nondemokratis. Tipe komunikasi politik ini pula yang nantinya akan membedakan besarnya peranan dari organisasi politik.
Output merupakan keputusan otoritatif (yang mengikat) dalam menjawab dan memenuhi input yang masuk. Output sering dimanfaatkan sebagai mekanisme dukungan dalam rangka memenuhi tuntutan-tuntutan yang muncul.

Lingkungan mempunyai peranan penting berupa input, baik tuntutan ataupun dukungan. Kemampuan anggota sistem politik dalam mengelola dan menanggapi desakan ataupun pengaruh lingkungan bergantung pada pengenalannya pada lingkungan itu sendiri. Lingkungan merupakan semua sistem lain yang tidak termasuk dalam sistem politik. Secara garis besar, lingkungan dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan dalam (intra societal) dan lingkungan luar (extra societal). Setidaknya ada dua kritik yang dilontarkan atas gagasan Easton, yaitu adanya anggapan bahwa pemikiran Easton terlalu teoretis sehingga sulit untuk diaplikasikan secara nyata. Selain terlalu teoretis, pemikiran Easton dianggap tidak netral karena hanya mengedepankan nilai-nilai
liberal Barat dengan tanpa memperhatikan kondisi pada masyarakat yang sedang berkembang.

Pendekatan Struktural Fungsional Gabriel Almond

Pendekatan struktural fungsional merupakan alat analisis dalam mempelajari sistem politik, pada awalnya adalah pengembangan dari teori struktural fungsional dalam sosiologi. Dalam pendekatan ini, sistem politik merupakan kumpulan dari peranan-peranan yang saling berinteraksi. Menurut Almond, sistem politik adalah sistem interaksi yang terdapat dalam semua masyarakat yang bebas dan merdeka yang melaksanakan fungsi-fungsi integrasi dan adaptasi (baik dalam masyarakat ataupun berhadap-hadapan dengan masyarakat lainnya). Semua sistem politik memiliki persamaan karena sifat universalitas dari struktur dan fungsi politik.  
Almond menegaskan bahwa sistem politik memiliki empat karakteristik yang bersifat universal. Keempat karakteristik ini berlaku di negara manapun dan terdiri atas premis-premis:
  1. Setiap sistem politik memiliki struktur-struktur politik;
  2. Fungsi-fungsi (dari setiap struktur) yang sama dapat ditemui di setiap sistem politik;
  3. Setiap struktur politik bersifat multifungsi; dan
  4. Setiap sistem politik telah bercampur dengan budaya politik (yang dianut warganegara masing-masing).

Mengenai fungsi politik, Almond membaginya dalam dua jenis, fungsi input dan output. Almond memodifikasi struktur input serta output David Easton dan hasilnya adalah Almond berhasil memperjelas abstraknya Easton dalam menjelaskan masalah fungsi input dan output sistem politik sebagai berikut :

Fungsi Input terdiri atas :
  • Sosialisasi dan rekrutmen politik
Fungsi sosialisasi dan rekrutmen politik selanjutnya ditempatkan Almond sebagai fungsi pemeliharaan sistem politik.
  • Artikulasi kepentingan
Struktur yang menjalankan fungsi artikulasi kepentingan adalah kelompok-kelompok kepentingan yang terorganisir yang meliputi tipe: (a) Institutional; (b) Non-Associational; (c) Anomic; dan (d) Associational.
  • Agregasi (pengelompokan) kepentingan
Jalannya fungsi ini dipengaruhi oleh dua hal yaitu sistem kepartaian yang berlaku di suatu negara dan penampilan fungsi-fungsi agregatif. Sistem kepartaian (menurut Almond) misalnya Authoritarian, Dominant-Authoritarian, Competitif, dan Competitive Multi-party. Penampilan fungsi-fungsi agregatif misalnya tawar-menawar yang sifatnya pragmatis atau sekular, cenderung berorientasi nilai absolut, dan bersifat tradisi ataupun partikularistik.
  • Komunikasi politik
Guna membanding pola komunitasi politik antar sistem politik, Almond mengajukan empat parameter yaitu: (1) Homogenitas informasi politik yang tersedia; (2) Mobilitas informasi (vertikal atau horisontal; (3) Nilai informasi; dan (4) Arah dari arus informasi yang berkembang (komunikator atau komunikan).

Fungsi output terdiri atas :
  • Pembuatan peraturan
  • Penerapan peraturan
  • Pengawasan peraturan
Terkait dengan hubungannya dengan lingkungan, perspektif yang digunakan adalah ekologis. Keuntungan dari perspektif ekologis ini adalah dapat mengarahkan perhatian kita pada isu politik yang lebih luas. Agar dapat membuat penilaian yang objektif maka kita harus menempatkan sistem politik dalam lingkungannya. Hal ini dilakukan guna mengetahui bagaimana lingkungan-lingkungan membatasi atau membantu dilakukannya sebuah pilihan politik. Sifat saling bergantung bukan hanya dalam hubungan antara kebijaksanaan dengan sarana-sarana institusional saja, namun lembaga-lembaga atau bagian dari sistem politik tersebut juga saling bergantung. Untuk dapat mengatasi pengaruh lingkungan, Almond menyebutkan enam kategori kapabilitas sistem politik, yaitu kapabilitas ekstraktif, kapabilitas regulatif, kapabilitas distributif, kapabilitas simbolik, kapabilitas responsif, kapabilitas domestik dan internasional.

Analisis Struktural Fungsional dalam Sistem Politik

Menurut Gabriel Almond, dalam setiap sistem politik terdapat enam struktur atau lembaga politik, yaitu kelompok kepentingan, partai politik, badan legislatif, badan eksekutif, birokrasi, dan badan peradilan. Dengan melihat keenam struktur dalam setiap sistem politik, kita dapat membandingkan suatu sistem politik dengan sistem politik yang lain. Hanya saja, perbandingan keenam struktur tersebut tidak terlalu membantu kita apabila tidak disertai dengan penelusuran dan pemahaman yang lebih jauh dari bekerjanya sistem politik tersebut.
Suatu analisis struktur menunjukkan jumlah partai politik, dewan yang terdapat dalam parlemen, sistem pemerintahan terpusat atau federal, bagaimana eksekutif, legislatif, dan yudikatif diorganisir dan secara formal dihubungkan satu dengan yang lain. Adapun analisis fungsional menunjukkan bagaimana lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi tersebut berinteraksi untuk menghasilkan dan melaksanakan suatu kebijakan. Input yang masuk dalam sistem politik disalurkan oleh lembaga politik, kemudian akan menghasilkan output, berupa keputusan yang sah dan mengikat yang sebelumnya melalui proses konversi. Dalam konversi terjadi interaksi antara faktor-faktor politik, baik yang bersifat individu, kelompok ataupun organisasi. Fungsi input, meliputi sosialisasi politik dan rekruitmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, dan komunikasi politik. Sedangkan fungsi output, antara lain pembuatan kebijakan, penerapan kebijakan, dan penghakiman kebijakan.
                                                      BAB III
                      KASUS, ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Masa Peralihan Orde Lama ke Orde Baru
1.    Latar Belakang Peralihan Orde Lama ke Orde Baru
         Setelah adanya peristiwa G30S/PKI Situasi nasional sangat menyedihkan, kehidupan ideologi nasional belum mapan, sementara PKI ingin mengganti dasar negara Pancasila dengan dasar Komunisme. Kondisi Politik juga belum stabil, karena sering terjadi konflik antara partai politik. Demokrasi terpimpin justru mengarah ke sistem pemerintahan diktator. Kehidupan ekonomi semakin suram, sehingga kemelaratan dan kekurangan makanan terjadi dimana-mana. Untuk mendapatkan bahan-bahan pokok orang harus antri lebih dahulu. Keamanan nasional juga sulit dikendalikan. Setelah peristiwa G30S/PKI, mahasiswa yang didukung kekuatan ABRI menuntut pemerintah untuk membubarkan PKI. Namun, bagaimana tanggapan Soekarno terhadap peristiwa itu? Presiden Soekarno menyalahkan orang-orang yang terlibat di dalam perbuatan keji yang berakhir dengan gugurnya para jenderal dan rakyat yang tidak berdosa.
             Akan tetapi, Presiden Soekarno menyatakan bahwa hal semacam itu  dapat saja terjadi dalam suatu revolusi.presiden Soekarno belum dapat mengambil keputusan yang tepat, namun meyetujui pembentukkan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam G30S/PKI. Sikap pemerintah yang belum dapat mengambil keputusan untuk membubarkan PKI, ditambah lagi situasi politik, ekonomi, dan keamanan yang semakin bertambah kacau, mengakibatkan kemarahan rakyat tidak dapat dibendung lagi. Rakyat dan mahasiswa menuntut pemerintah untuk membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya. Dengan banyaknya dukungan dari berbagai pihak terutama yang datangnya sendiri dari rakyat Indonesia, maka KAMI, KAPPI, KAPI mengadakan aksi turun ke jalan dan mendesak pemerintahan untuk memenuhi seluruh tuntutannya. Aksi semacam ini tidak hanya dilakukan di Jakarta saja tetapi juga di kota-kota lainnya. Demonstrasi besar-besaran terjadi pada tanggal 10 Januari 1966. Para demonstrasi mengajukan tiga tuntutan yang terkenal dengan sebutan TRITURA (Tri Tuntutan Rakyat), yang meliputi sebagai berikut
2.      Pembubaran PKI
3.      Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI
4.      Penurunan harga-harga

            Menghadapi situasi politik yang semakin memanas, Presiden Soekarno memanggil seluruh menterinya untuk mengadakan sidang kabinet di Istana Bogor. Dalam sidang tersebut, terdapat banyak tokoh dari KAMI yang diundang. Akan tetapi, di luar Istana Bogor masyarakat yang berdemonstrasi bertambah banyak dan menunutut dilaksanakannya Tritura. Dalam sidang kabinet Presiden Soekarno kembali berjanji akan memberikan penyelesaian politik. Janji politik tersebut ia wujudkan dengan me-reshuffle susunan kabinet Dwikora menjadi kabinet Dwikora yang Disempurnakan.
             Kabinet baru ini tidak dapat diterima oleh rakyat karena lenyapnya kedudukan Jenderal A.H. Nasution (orang anti PKI) dan masuknya beberapa tokoh yang terindikasi mendukung PKI seperti Sumarjo dan Letkol Syafei, Subandrio dan Ir. Surachman. Rakyat sangat marah melihat penyelesaian politik yang dilakukan Presiden Soekarno tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Kemudian terjadilah gelombang demonstrasi yang semakin besar dan ditujukan langsung kepada Presiden Soekarno KAMI melakukan aksi serentak turun ke jalan dengan mengempeskan ban-ban mobil para calon menteri di seluruh ibu kota. Dalam demonstrasi itu gugur mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang tertembak peluru Pasukan Pengawal Presiden. Melihat demonstrasi yang semakin besar tersebut dan merasa tersinggung maka beliau segera membubarkan KAMI pada tanggal 26 Februari 1966.
            Oleh pemerintah Orde Baru, korban-korban yang berjatuhan dari kalangan mahasiswa itu diangkat menjadi Pahlawan Ampera dan dikukuhkan oleh Ketetapan MPRS No. XXIX/MPRS/1966.  Tindakan itu malah memperuncing suasana politik dan berakhir dengan keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret. Isi pokoknya adalah memerintahkan kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk atas nama Presiden mengambil tindakan yang dianggap perlu agar terjamin keamanan dan ketertiban serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan presiden.

2. Proses Peralihan Kekuasaan Politik Setelah Peristiwa G30S/PKI

            Dalam usaha merintis stabilisasi politik, maka keluar Surat Perintah 11 Maret 1966 tersebut dikukuhkan menjadi Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 yang memberikan wewenang kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna menjamin keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi. Menyadari fungsi selaku lembaga yang menentukan garis-garis besar haluan negara, maka MPRS pada waktu itu mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang pembentukan Kabinet Ampera.
            Kabinet ini dibentuk untuk memenuhi dan melaksanakan TRITURA di bidang ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Tugas membentuk Kabinet Ampera diserahkan kepada Letnan Jenderal Soeharto sebagai pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. Tugas pokok yang dibebankan kepada kabinet itu adalah untuk menciptakan kestabilan politik dan ekonomi dengan programnya antara lain memperbaiki kehidupan rakyat terutama dibidang sandang dan pangan serta melaksanakan pemilihan umum yang sesuai dengan Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. Kabinet Ampera diresmikan tanggal 28 Juli 1966 dan jangka waktu kerja Kabinet Ampera adalah dua tahun.
           
3. Peralihan Kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto

             Pada sidang Umum tahun1966, presiden selaku mandataris MPRS diminta oleh MPRS untuk memberikan pertanggungjawaban mengenai kebijakan yang telah dilakukan, khususnya mengenai masalah yang menyangkut peristiwa G30S/PKI. Namun, dalam pidato pertanggungjawabannya itu Presiden cenderunghanya memberikan amanat seperti apa yang dilakukan di hadapan sidang-sidang lembaga yang berada di lingkungan tanggung jawabannya.
            Pada 10 Januari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan Pelengkap pidato, Presiden memberi nama pidato pertanggungjawabannya itu Nasawaksara yang artinya sembilan pokok masalah. Akan tetapi masalah nasional tetntang G30S/PKI tidak disinggung sama sekali, sehingga pertanggungjawaban Presiden dianggap tidak lengkap dan tidak diterima oleh MPRS berdasarkan Keputusan Pimpinan MPRS No. 13/B/1967. Oleh karena itu, pimpinan MPRS meminta kepada Presiden untuk melengkapinya . Selanjutnya usaha-usaha untuk meyelesaikan situasi konflik diupayakan terus menerus berhubungan dengan banyaknya munculnya reaksi-reaksi rakyat, maka pimpinan ABRI mengadakan pendekatan pribadi dengan presiden.
             Pada tanggal 7 Februari 1967 Jenderal Soeharto menerima surat rahasia dari Presiden Soekarno yang dilampiri konsep surat penugasan mengenai pimpinan pemerintahan sehari-hari kepada pemegang Supersemar itu namun tidak dapat diterima kemudian Jenderal Soeharto mengajukan konsepnya kepada Presiden Soekarno dan beberapa waktu kemudian Presiden menyatakan setuju terhadap konsep tersebut tetapi meminta jaminan dari Jenderal Soeharto. Sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, menyebabkan kekuasaan pemerintahan di tangan Soeharto semakin besar sejak awal tahun 1967.  Dan pada tanggal 20 Februari diumumkan tentang penyerahan kekuasaan kepada pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. Sebagai tindak lanjut lembaga tertinggi negara ini mengeluarkan Ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 tertanggal 12 Maret1967, yang secara resmi mencabut seluruh kekuasaan pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden Republik Indonesia. Dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS itu, situasi konflik yang telahmenyebabkan terjadinya instabilitas politik nasional dapat teratasi. Dan pada tanggal 27Maret1968 Soeharto diangkat sebagai presiden republic Indonesia berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968, sampai presiden baru hasil pemilu ditetapkan
                       
                                    Sistem Politik Indonesia Masa Orde Lama ke Orde Baru

                                              
                                                KESIMPULAN DAN SARAN
            Sistem adalah kesatuan dari seperangkat struktur yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem politik adalah kesatuan (kolektivitas) seperangkat struktur politik yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja untuk mencapai tujuan suatu negara. Sistem politik sendiri merupakan abstraksi (realitas yang diangkat ke alam konsep) seputar pendistribusian nilai di tengah masyarakat. Untuk memahami sistem politik Indonesia, layaknya kita memahami sistem-sistem lain, maka harus kita ketahui beberapa variabel kunci. Variabel-variabel kunci dalam memahami sebuah sistem adalah adalah struktur, fungsi, aktor, nilai, norma, tujuan, input, output, respon, dan umpan balik.
            Struktur adalah lembaga politik yang memiliki keabsahan dalam menjalankan suatu fungsi sistem politik. Dalam konteks negara (sistem politik) misal dari struktur ini struktur input, proses, dan output. Struktur input, proses dan output umumnya dijalankan oleh aktor-aktor yang dapat dikategorikan menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tujuan sistem politik Indonesia termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945 sementara tujuan sistem politik Amerika Serikat termaktub di dalam Declaration of Independence. Input dan output adalah dua fungsi dalam sistem politik yang berhubungan erat. Apapun output suatu sistem politik, akan dikembalikan kepada struktur input. Struktur input akan bereaksi terhadap apapun output yang dikeluarkan, yang jika positif akan memunculkan dukungan atas sistem, sementara jika negatif akan mendampak muncul tuntutan atas sistem. Umpan balik (feedback) adalah situasi di mana sistem politik berhasil memproduksi suatu keputusan ataupun tindakan yang direspon oleh struktur output.
            Oleh karena itu, sistem politik harus dijalankan semestinya dan sesuai dengan fungsinya masing-masing agar tidak terjadi konflik satu sama lain dan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Termasuk dalam konteks pemberian input terhadap pemerintah  dengan cara yang baik dan benar sehingga tidak melanggar terlebih lagi merugikan baik diri sendiri maupun kepada orang lain, kemudian  untuk pemerintah sendiri sebaiknya tanggap serta peduli mengenai input yang berupa keluhan serta aspirasi yang diberikan oleh rakyatnya karena dengan input tersebut pemerintah mengetahui kelebihan serta kelemahan program kerjanya. Tidak hanya menampung aspirasi rakyat saja tapi juga menjadikannya sebuah  pertimbangan sebagai kebijakan yang mencakup semua rakyat tanpa batasan apapun sehingga fungsi outputpun terlaksana dengan baik.   

                                                   DAFTAR PUSTAKA

Badrika, I Wayan.2006.SEJARAH untuk SMA.Jakarta:Erlangga
http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/kerangka-kerja-sistem-politik-david.html
http://artikel-kampuz.blogspot.com/2010/12/sistem-politik-indonesia.html















3 komentar: