II.5
KRITIK ATAS
ASIMILASI
Kaum
asimilasionis, termasuk para pendukung ideologi Melting Pot, telah lama berpendapat bahwa etnisitas akan sirna
akhirnya dan tidak lagi relevan bagi kaum pendatang, karena mereka semakin
berorientasi kepada prestasi karena kesempatan yang mereka miliki di tanah yang
baru.
Asumsi
bahwa etnisitas akhirnya akan luntur dalam masyarakat-masyarakat industri kota
berasal dari teori-teori yang dirumuskan antara lain oleh Durkheim, Tonnies,
dan Weber. Gagasan struktural ini menunjukkan bahwa etnisitas akan menurun
sejalan dengan berlalunya waktu, dan pentingnya etnisitas dianggap sebagai
kelambanan struktutral sementara.
Etnisitas bersifat dinamis,
artinya etnisitas yang sekarang tumbuh dan melekat di masyarakat akan berubah
sesuai dengan tuntutan zaman. Karena kita tidak bisa menghindari globalisasi
dan perkembangan komunikasi yang membuat etnisitas itu sendiri akan berubah
dari yang sekarang.
Para peneliti telah menguraikan
berbagai faktor yang mempengaruhi kecepatan asimilasi, dan meramalkan berbagai
kondisi yang menimbulkan asimilasi. Dalam studi tentang adaptasi kaum migran
dengan lingkungan baru mereka, mereka telah memfokuskan studi mereka pada
motif-motif migrasi yang mendorong orang-orang untuk bermigrasi dan tinggal di
suatu negeri baru, juga pada proses-proses adaptasi dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Pendekatan
ini sering menekankan bagaimana variabel-variabel seperti ciri-ciri sosial,
budaya, dan ekonomi para subjek yang diteliti (jenis kelamin, usia, etnisitas,
afiliasi keagamaan, status sosial, tingkat gaji, dll) mempengaruhi atau berkolerasi
dengan derajat adaptasi kaum migran, pemeliharaan atau hilangnya budaya asli
mereka.
Banyak kajian tentang adaptasi kaum
migran di negeri baru juga bertalian dengan konflik budaya. Salah satu konsep yang penting adalah Gegar Budaya (Culture Shock) sebagai
akibat tak terhindarkan dari kontak antarbudaya kaum migran dengan masyarakat
pribumi.
Pendekatan deterministik ini telah
dikritik sebagai terlalu simplistik, karena proses perubahan identitas etnik
pada kelompok-kelompok etnik, sirkuler, interaksional, dan dinamik melibatkan
konflik-konflik dalam kelompok-kelompok etnik.
Pendekatan
tersebut tidak memadai untuk mengkaji transformasi identitas etnik, karena ia
menganggap manusia sebagai objek-objek fisik yang dibentuk kekuatan-kekuatan di
luar diri mereka, yang tindakan-tindakannya dapat dipahami dalam konteks
peristiwa-peristiwa yang dapat diamati secara eksternal, tanpa memperhitungkan internal states para aktor dan
makna-makna simbolik dari situasi kultural yang mereka masuki.
Dengan
kata lain, pendekatan tersebut terlalu bergantung pada kuantifikasi statistik
untuk memahami makna setiap variabel dasar bagi hubungan-hubungan yang dianggap
ada diantara variabel-variabel itu, dan
penjelasan-penjelasan bagi hubungan tersebut.
II.6 MENIMBANG KEMBALI IDENTITAS
CHINA
Perayaan
Tahun Baru China (imlek) sering diidentikan dengan suasana gembira, warna merah
semarak dimana-mana, lampion, nyala lilin, dodol China, dan pertunjukkan
barongsai. Warga China telah berabad-abad tinggal dan beranak cucu di Indonesia.
Sebagian bekerja kepada negeri ini, terutama sebagai pahlawan olahraga seperti
Rudi Hartono, Susi Susanti, dan Alan Budikusumah. Sayangnya sebagian lagi masih
dianggap warga kelas dua oleh warga lain yang menganggap diri pribumi.
Pemerintah pun masih diskriminatif dengan tidak memberikan kewarganegaraan
kepada mereka. Akar permasalahannya adalah pandangan kita yang sempit mengenai
identitas etnik.
Dua Perspektif tentang Identitas
Etnik
Selama
ini kita cenderung menganut pandangan objektif (struktural) mengenai identitas
ke-China-an alih-alih pandangan subjektif (fenomenologis). Pandangan objektif
memandang bahwa identitas etnik sebagai pasif dan statis, sebagai bawaan,
nyata, berdasarkan kategori-kategori yang ditetapkan, misalnya bahasa, agama,
atau asal-usul kebangsaan. Ciri-ciri fisik seperti warna kulit, bentuk mata,
dan warna rambut sering menjadi ukuran. Sekali seseorang itu dikategorikan
China maka sampai kapanpun ia tetap China. Pandangan itu biased karena mengabaikan pengalaman otentik anggota etnik.
Kontras dengan perspektif objektif,
perspektif subjektif memandang identitas etnik sebagai proses aktif dan dinamis
yang dialami kelompok etnik bersangkutan dan diidentifikasi demikian oleh orang
lain, dan karenanya menekankan kesadaran psikologis mereka. Menurut pandangan
ini, justru kesadaranlah sebagai inti identitas etnik, bukan ciri-ciri fisik.
Tidak salah jika seorang China yang lahir di Indonesia, bergaul dengan orang
dari beragam etnik lainnya, berbicara bahasa Indonesia dan makan makanan Indonesia,
merasa lebih sebagai orang Indonesia dari pada sebagai orang China, meski nenek
moyangnya lahir di daratan China. Jika kita setuju bahwa kesadaran adalah
esensi identitas etnik atau kebangsaan seseorang maka seorang China yang
membela Indonesia di kancah olahraga internasional untuk mengharumkan nama
Indonesia boleh jadi lebih nasionalis daripada orang Jawa atau orang Sunda yang
menjual aset negara untuk kepentingan diri atau kelompoknya. Maka tidak adil
untuk menyamaratakan identitas seseorang berdasarkan ciri-ciri fisiknya.
Pandangan ini sering kental dengan stereotip,
yakni penyamarataan yang berlebihan atas sekelompok orang dengan mengabaikan
perbedaan perbedaan individual. Stereotip sering deskruptif. Kebencian terhadap
sekelompok etnik bersangkutan secara keseluruhan. Jika terjadi konflik antar
etnik, orang-orang yang tidak bersalah pun menjadi sasaran. Ini sering terjadi
di Indonesia.
Salah
satu varian dari perspektif subjektif terhadap identitas etnik adalah
pendekatan Fredrik Barth (1969). Bagi Barth identitas etnik itu cair, digunakan
individu dalam interaksi dengan orang lain. Diasumsikan para aktor berupaya
mengeksploitasi simbol-simbol budaya dan menampilkan perilaku etnik tertentu.
Seseorang dapat menjadi seorang China, seorang Indonesia, bahkan seorang
manusia antarbudaya (warga dunia) bergantung dalam situasi apa, dimana, untuk
tujuan apa, dan dengan siapa ia berinteraksi. Sisi “negatif” dari pendekatan
ini adalah bahwa orang-orang boleh jadi memanipulasi identitas etnik mereka
untuk memperoleh keuntungan pribadi, khususnya yang bersifat ekonomi dan
politik. Namun upaya tersebut tidak selamanya berhasil karena kendala yang ada,
misalnya karena ciri-ciri fisiknya atau bahasa (Indonesia) nya yang berlogat
kedaerahan, mengingatkan orang pada kelompok etnik tertentu.
Membumikan Identitas China
Istilah
pribumi dan nonpribumi sudah kadaluarsa, sebagaimana istilah Indonesia asli dan
bukan asli. Kita semua, apapun etnik kita, adalah keturunan Nabi Adam yang dulu
hidup diluar bumi Indonesia. Marilah kita bersatu demi memajukan Indonesia.
Sejak awal masa reformasi (1998), warga China tampaknya semakin terintegrasi
dengan orang-orang Indonesia lainnya, termasuk yang selama ini disebut rumpun
Melayu. Kini memiliki pejabat setingkat menteri yang orang China. Jika pada
masa orang-orang China dominan sebagai pemain bulutangkis papan atas, kini
sejumlah penyanyi, pemain sinetron, atau presenter TV pun orang China, seperti
Agnes Monica, Delon, Ferry Salim, dan Roger Danuarta. Sayangnya, buku-buku
mengenai kehidupan orang China di Indoensia masih sedikit, terutama yang
bersumber dari hasil-hasil penelitian yang menggunakan perspektif
fenomenologis. Tampaknya orang-orang China-lah yang sebaiknya memperbanyak
penelitian tentang kelompok mereka karena hal itu lebih mudah dilakukan. Ada
baiknya orang-orang China di Indonesia meniru orang-orang Belanda yang meneliti
kehidupan bangsa mereka di Indonesia pada zaman kolonial, dan menerbitkannya
dalam ribuan judul buku.
Acara-acara
TV kita dewasa ini juga masih kurang mengeksplorasi kehidupan orang-orang
China. Kalaupun ada, acara-acara seperti
itu bersifat musiman, seperti sekitar tahin baru Imlek, atau sekedar guyonan
dan parodi, seperti dalam acara Ekstravaganza
Trans TV. Bila televisi lazim menayangkan budaya Jawa, Sunda, Minangkabau,
Batak, Bali, dsb. Budaya China pun tak perlu dikucilkan? Suatu acara TV yang
menarik, sinetron misalnya, dapat menayangkan konfilk dan solusinya antara
orang Sunda atau orang Jawa dengan orang China, secara santun, kreatif dan
jenaka, dilingkungan tetangga, sekolah, ataupun pekerjaan. Seperti opera sabun
Amerika yang klasik dan sukses, All in
the Family, dengan tokohnya Archie Bunker yang meyebalkan dan rasis
terhadap Orang Amerika non-kulit putih,
namun juga jenaka. Tema-tema antar etnik ini (termasuk antara orang melayu dan
orang India atau orang Arab) sebenarnya melimpah dan tidak akan pernah kering.
Namun etika bersama harus kita jaga bersama. Misalnya, acara tersebut tidak
boleh melecehkan ajaran suatu agama yang dianut masyarakat kita.
Selain
acara TV, film layar lebar juga, dapat digunakan untuk mengeksplorasi seluk
beluk budaya China dan perubahan identitas China dari masa ke masa. Film Chau
Bau Kan dan Gie, adalah dua contoh film yang bagus mengenai hal ini. Tidak
kurang pentingnya adalah pelajaran disekolah atau mata kuliah yang menyentuh
pentingnya saling pengertian antara berbagai etnik di Indonesia, seperti
Antrologi Budaya, Bahasa Mandarin, Psikologi Antar Budaya, Komunikasi Antar
Etnik atau Komunikasi Lintas Budaya. Last but not least, pemerintahan
seyogianya membuka pintu lebih lebar kepada warga China untuk menjadi PNS dan
TNI. Berkat keanekaragaman etnik dan saling pengertian antar etnik inilah kita
akan menjadi bangsa yang besar.
Online Casino - Sega Genesis - Sands Casino
BalasHapusPlay Sega Genesis games 카지노사이트 on your mobile device absolutely free. No download required, just start 온카지노 playing! No download required, septcasino just start playing!Misc Offers · Game