Rabu, 22 Januari 2014

IDENTITAS ETNIK BAGIAN II


II.5 KRITIK ATAS ASIMILASI
            Kaum asimilasionis, termasuk para pendukung ideologi Melting Pot, telah lama berpendapat bahwa etnisitas akan sirna akhirnya dan tidak lagi relevan bagi kaum pendatang, karena mereka semakin berorientasi kepada prestasi karena kesempatan yang mereka miliki di tanah yang baru.
Asumsi bahwa etnisitas akhirnya akan luntur dalam masyarakat-masyarakat industri kota berasal dari teori-teori yang dirumuskan antara lain oleh Durkheim, Tonnies, dan Weber. Gagasan struktural ini menunjukkan bahwa etnisitas akan menurun sejalan dengan berlalunya waktu, dan pentingnya etnisitas dianggap sebagai kelambanan struktutral sementara.
Etnisitas bersifat dinamis, artinya etnisitas yang sekarang tumbuh dan melekat di masyarakat akan berubah sesuai dengan tuntutan zaman. Karena kita tidak bisa menghindari globalisasi dan perkembangan komunikasi yang membuat etnisitas itu sendiri akan berubah dari yang sekarang.
            Para peneliti telah menguraikan berbagai faktor yang mempengaruhi kecepatan asimilasi, dan meramalkan berbagai kondisi yang menimbulkan asimilasi. Dalam studi tentang adaptasi kaum migran dengan lingkungan baru mereka, mereka telah memfokuskan studi mereka pada motif-motif migrasi yang mendorong orang-orang untuk bermigrasi dan tinggal di suatu negeri baru, juga pada proses-proses adaptasi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Pendekatan ini sering menekankan bagaimana variabel-variabel seperti ciri-ciri sosial, budaya, dan ekonomi para subjek yang diteliti (jenis kelamin, usia, etnisitas, afiliasi keagamaan, status sosial, tingkat gaji, dll) mempengaruhi atau berkolerasi dengan derajat adaptasi kaum migran, pemeliharaan atau hilangnya budaya asli mereka.
            Banyak kajian tentang adaptasi kaum migran di negeri baru juga bertalian dengan konflik budaya.  Salah satu konsep yang penting adalah Gegar Budaya (Culture Shock) sebagai akibat tak terhindarkan dari kontak antarbudaya kaum migran dengan masyarakat pribumi.
            Pendekatan deterministik ini telah dikritik sebagai terlalu simplistik, karena proses perubahan identitas etnik pada kelompok-kelompok etnik, sirkuler, interaksional, dan dinamik melibatkan konflik-konflik dalam kelompok-kelompok etnik.
Pendekatan tersebut tidak memadai untuk mengkaji transformasi identitas etnik, karena ia menganggap manusia sebagai objek-objek fisik yang dibentuk kekuatan-kekuatan di luar diri mereka, yang tindakan-tindakannya dapat dipahami dalam konteks peristiwa-peristiwa yang dapat diamati secara eksternal, tanpa memperhitungkan internal states para aktor dan makna-makna simbolik dari situasi kultural yang mereka masuki.
Dengan kata lain, pendekatan tersebut terlalu bergantung pada kuantifikasi statistik untuk memahami makna setiap variabel dasar bagi hubungan-hubungan yang dianggap ada diantara variabel-variabel itu, dan penjelasan-penjelasan bagi hubungan tersebut.
II.6 MENIMBANG KEMBALI IDENTITAS CHINA
Perayaan Tahun Baru China (imlek) sering diidentikan dengan suasana gembira, warna merah semarak dimana-mana, lampion, nyala lilin, dodol China, dan pertunjukkan barongsai. Warga China telah berabad-abad tinggal dan beranak cucu di Indonesia. Sebagian bekerja kepada negeri ini, terutama sebagai pahlawan olahraga seperti Rudi Hartono, Susi Susanti, dan Alan Budikusumah. Sayangnya sebagian lagi masih dianggap warga kelas dua oleh warga lain yang menganggap diri pribumi. Pemerintah pun masih diskriminatif dengan tidak memberikan kewarganegaraan kepada mereka. Akar permasalahannya adalah pandangan kita yang sempit mengenai identitas etnik.
Dua Perspektif tentang Identitas Etnik
Selama ini kita cenderung menganut pandangan objektif (struktural) mengenai identitas ke-China-an alih-alih pandangan subjektif (fenomenologis). Pandangan objektif memandang bahwa identitas etnik sebagai pasif dan statis, sebagai bawaan, nyata, berdasarkan kategori-kategori yang ditetapkan, misalnya bahasa, agama, atau asal-usul kebangsaan. Ciri-ciri fisik seperti warna kulit, bentuk mata, dan warna rambut sering menjadi ukuran. Sekali seseorang itu dikategorikan China maka sampai kapanpun ia tetap China. Pandangan itu biased karena mengabaikan pengalaman otentik anggota etnik.
            Kontras dengan perspektif objektif, perspektif subjektif memandang identitas etnik sebagai proses aktif dan dinamis yang dialami kelompok etnik bersangkutan dan diidentifikasi demikian oleh orang lain, dan karenanya menekankan kesadaran psikologis mereka. Menurut pandangan ini, justru kesadaranlah sebagai inti identitas etnik, bukan ciri-ciri fisik. Tidak salah jika seorang China yang lahir di Indonesia, bergaul dengan orang dari beragam etnik lainnya, berbicara bahasa Indonesia dan makan makanan Indonesia, merasa lebih sebagai orang Indonesia dari pada sebagai orang China, meski nenek moyangnya lahir di daratan China. Jika kita setuju bahwa kesadaran adalah esensi identitas etnik atau kebangsaan seseorang maka seorang China yang membela Indonesia di kancah olahraga internasional untuk mengharumkan nama Indonesia boleh jadi lebih nasionalis daripada orang Jawa atau orang Sunda yang menjual aset negara untuk kepentingan diri atau kelompoknya. Maka tidak adil untuk menyamaratakan identitas seseorang berdasarkan ciri-ciri fisiknya. Pandangan ini sering kental dengan stereotip, yakni penyamarataan yang berlebihan atas sekelompok orang dengan mengabaikan perbedaan perbedaan individual. Stereotip sering deskruptif. Kebencian terhadap sekelompok etnik bersangkutan secara keseluruhan. Jika terjadi konflik antar etnik, orang-orang yang tidak bersalah pun menjadi sasaran. Ini sering terjadi di Indonesia.
Salah satu varian dari perspektif subjektif terhadap identitas etnik adalah pendekatan Fredrik Barth (1969). Bagi Barth identitas etnik itu cair, digunakan individu dalam interaksi dengan orang lain. Diasumsikan para aktor berupaya mengeksploitasi simbol-simbol budaya dan menampilkan perilaku etnik tertentu. Seseorang dapat menjadi seorang China, seorang Indonesia, bahkan seorang manusia antarbudaya (warga dunia) bergantung dalam situasi apa, dimana, untuk tujuan apa, dan dengan siapa ia berinteraksi. Sisi “negatif” dari pendekatan ini adalah bahwa orang-orang boleh jadi memanipulasi identitas etnik mereka untuk memperoleh keuntungan pribadi, khususnya yang bersifat ekonomi dan politik. Namun upaya tersebut tidak selamanya berhasil karena kendala yang ada, misalnya karena ciri-ciri fisiknya atau bahasa (Indonesia) nya yang berlogat kedaerahan, mengingatkan orang pada kelompok etnik tertentu.
Membumikan Identitas China
            Istilah pribumi dan nonpribumi sudah kadaluarsa, sebagaimana istilah Indonesia asli dan bukan asli. Kita semua, apapun etnik kita, adalah keturunan Nabi Adam yang dulu hidup diluar bumi Indonesia. Marilah kita bersatu demi memajukan Indonesia. Sejak awal masa reformasi (1998), warga China tampaknya semakin terintegrasi dengan orang-orang Indonesia lainnya, termasuk yang selama ini disebut rumpun Melayu. Kini memiliki pejabat setingkat menteri yang orang China. Jika pada masa orang-orang China dominan sebagai pemain bulutangkis papan atas, kini sejumlah penyanyi, pemain sinetron, atau presenter TV pun orang China, seperti Agnes Monica, Delon, Ferry Salim, dan Roger Danuarta. Sayangnya, buku-buku mengenai kehidupan orang China di Indoensia masih sedikit, terutama yang bersumber dari hasil-hasil penelitian yang menggunakan perspektif fenomenologis. Tampaknya orang-orang China-lah yang sebaiknya memperbanyak penelitian tentang kelompok mereka karena hal itu lebih mudah dilakukan. Ada baiknya orang-orang China di Indonesia meniru orang-orang Belanda yang meneliti kehidupan bangsa mereka di Indonesia pada zaman kolonial, dan menerbitkannya dalam ribuan judul buku.
            Acara-acara TV kita dewasa ini juga masih kurang mengeksplorasi kehidupan orang-orang China.  Kalaupun ada, acara-acara seperti itu bersifat musiman, seperti sekitar tahin baru Imlek, atau sekedar guyonan dan parodi, seperti dalam acara Ekstravaganza Trans TV. Bila televisi lazim menayangkan budaya Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Bali, dsb. Budaya China pun tak perlu dikucilkan? Suatu acara TV yang menarik, sinetron misalnya, dapat menayangkan konfilk dan solusinya antara orang Sunda atau orang Jawa dengan orang China, secara santun, kreatif dan jenaka, dilingkungan tetangga, sekolah, ataupun pekerjaan. Seperti opera sabun Amerika yang klasik dan sukses, All in the Family, dengan tokohnya Archie Bunker yang meyebalkan dan rasis terhadap Orang Amerika  non-kulit putih, namun juga jenaka. Tema-tema antar etnik ini (termasuk antara orang melayu dan orang India atau orang Arab) sebenarnya melimpah dan tidak akan pernah kering. Namun etika bersama harus kita jaga bersama. Misalnya, acara tersebut tidak boleh melecehkan ajaran suatu agama yang dianut masyarakat kita.
            Selain acara TV, film layar lebar juga, dapat digunakan untuk mengeksplorasi seluk beluk budaya China dan perubahan identitas China dari masa ke masa. Film Chau Bau Kan dan Gie, adalah dua contoh film yang bagus mengenai hal ini. Tidak kurang pentingnya adalah pelajaran disekolah atau mata kuliah yang menyentuh pentingnya saling pengertian antara berbagai etnik di Indonesia, seperti Antrologi Budaya, Bahasa Mandarin, Psikologi Antar Budaya, Komunikasi Antar Etnik atau Komunikasi Lintas Budaya. Last but not least, pemerintahan seyogianya membuka pintu lebih lebar kepada warga China untuk menjadi PNS dan TNI. Berkat keanekaragaman etnik dan saling pengertian antar etnik inilah kita akan menjadi bangsa yang besar.                


1 komentar:

  1. Online Casino - Sega Genesis - Sands Casino
    Play Sega Genesis games 카지노사이트 on your mobile device absolutely free. No download required, just start 온카지노 playing! No download required, septcasino just start playing!‎Misc Offers · ‎Game

    BalasHapus