Rabu, 22 Januari 2014

IDENTITAS ETNIK


II.1 PENGERTIAN IDENTITAS ETNIK
Identitas Etnik adalah Individu-individu mempunyai banyak identitas yang berkaitan dengan peranan-peranan khusus. Salah satu identitas-identitas ini berhubungan dengan latar belakang etnik mereka yang di anggap sebagai inti diri mereka. Jadi identistas etnik suatu ciri khas yang dimiliki oleh sekelompok orang yang dianggap sebagai inti dari diri mereka.
Pengertian Etnik adalah sebuah himpunan manusia (Subkelompok manusia) yang di persatukan oleh suatu kesadaran atas kesamaan sebuah kultur atau subkultur tertentu, atau karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa, bahkan peran atau fungsi tertentu. Karena etnik berkesinambungan dengan suatu budaya. Dan kebudayaan terbentuk dari sekumpulan orang yang menghasilkan suatu budaya yang terjadi dari kebiasaan para anggotanya.

 Pendekatan Perubahan Identitas Etnik 
Ada beberapa alasan mengapa perubahan identitas etnik suatu kelompok dapat terjadi, yaitu :
1.Pendekatan Objektif (Psikologi sosial/struktural)
·  Asumsi dasar ilmu alam: Ada keteraturan dalam realitas sosial juga dalam perilaku manusia. Mencari hukum umum dengan menjelaskan variabel mana menyebabkan atau berkolelasi dengan variabel lainnya.
·  Pendekatan ini cenderung etnosentrik
·  Kaum objektivitas mengklaim bahwa tanda-tanda budayaa seperti ras secara dekat berhubungan, kalaupun tak terpisahkan dengan etnik.

2.Pendekatan Subjektif (Fenomenologi)
·  Kaum subjektif memandang bahwa identitas etnik mengemuka lewat tanda-tanda budaya, mereka menekankan diri, dan juga perasaan identitas yang berkaitan dengan kelompok dan pengakuannya oleh orang-orang lain.
·  Identitas etnik sebagai dinamik, cair dan situasional.

Pendekatan deterministik ini telah dikritik sebagai terlalu simplistik, karena proses perubahan identitas etnik pada kelompok-kelompok etnik, sebenarnya, sirkuler, interaksional dan dinamik, melibatkan konflik-konflik dalam kelompok etnis.
II.2 PENDEKATAN OBJEKTIF
Yakni kelompok yang bisa dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya berdasarkan ciri-ciri budayanya seperti bahasa, agama. Pendekatan objektif didasarkan suatu anggapan yang menyerupai anggapan dasar dalam ilmu alam yakni adanya keteraturan dalam realitas sosial dan dalam perilaku manusia. Para penganutnya mencari hukum-hukum umum dengan menjelaskan variabel mana menyebabkan atau berkolerasi dengan variabel-variabel lainnya. Pendekatan objektif cenderung etnosentrik artinya setiap kelompok etnik atau ras memiliki semangat bahwa kelompoknya-lah yang paling superior atau lebih baik dibandingkan dengan kelompok etnik atau ras lainnya.
Bagi positivis, gagasan identitas etnik merupakan pendekatan operasional terhadap pertanyaan “Siapakah Aku?” seperti perspektif subjektif (fenomenologis), perspektif objektif tentang identitas etnik mungkin juga menghubungkan konsep identitas etnik dengan teori konsep-diri, namun cenderung menganggapnya sebagai deterministik alih-alih sebagai proses. Maka, pendekatan struktural terhadap diri (self) bergantung mutlak pada pengamatan “ilmiah” atas perilaku luar (overt behaviour). Pendekatan struktural berlawanan dengan psikologis sosial, dimana melihat kondisi dan perilaku manusia dari dalam diri dengan mengunakan logika matematis. Ia menolak gagasan-gagasan tentang jiwa, spirit, kemauan, intropeksi, kesadaran, subjektivitas, dan sebagainya. Karena konsep-konsep itu tidak dapat diamati secara kuantitatif. Kaum strukturalis berpendapat bahwa gagasan-gagasan tersebut “tidak ilmiah”. Pendekatan struktural menganggap bahwa diri bersifat struktural dalam arti bahwa ia ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di luar individu.
Pendekatan struktural juga menganggap bahwa individu-individu mengecap (typify) diri mereka sendiri dan dicap oleh orang-orang lain dalam dunia sosial mereka berdasarkan peranan-peranan dan lokasi mereka dalam struktur sosial. Seorang individu boleh jadi secara simultan dicap sebagai orang Indonesia, orang Jawa, pria, profesor, dan sebagainya. Pentingnya masing-masing identitas ini bervariasi dalam setiap situasi sosial. Maka, pendekatan struktural lebih meminati hubungan-hubungan langsung antara struktur sosial dan citra etnik yang dimiliki orang-orang tentang diri mereka sendiri dan kurang memperhatikan dinamika psikologis identitas etnik mereka. Dengan kata lain, pendekatan struktural terhadap studi identitas etnik menganggap bahwa identitas etnik itu pasif dan statik, perilaku luarnya ditentukan faktor-faktor diluar individu.
Sedangkan pendekatan psikologi sosial berasumsi bahwa kehidupan dan perilaku individu tidak sendirian, individu ada didalam lingkungan sosial, oleh karena itu kepribadian individu dibentuk oleh kepribadian lingkungan sosial. Artinya faktor yang berasal dari luarlah yang lebih unggul dibandingkan dengan faktor internal. Beberapa prinsip pendekatan psikologis adalah apa yang kita sebut sebagai identitas individu merupakan ciptaan identitas sosial melalui interaksi dengan kelompok: disini terlihat bahwa identitas selalu bersifat ganda, sifat ganda itu karena kita hidup dalam banyak peran yang berbeda-beda (setiap orang mempunyai banyak peran yang berbeda-beda) maupun berbeda peran dengan peran orang lain.
Perbedaan itu kata Erik Erikson seorang pengikut Sigmund Freud bahwa identitas merupakan peta bagi pengembangan psikologis manusia, yaitu pengembangan identitas ego tatkala orang itu masih berusia muda. Dengan kata lain manusia dapat melakukan dramaturgi sesuai peran serta lingkungan dimana ia berada misalnya pengembangan identitas remaja menuju dewasa, ketika remaja identik dengan emosi yang tidak terkontrol, mudah tersinggung, serta labil dalam mengambil keputusan sedangkan identitas orang dewasa perkembangan psikologisnya ditandai dengan kematangan dalam berfikir serta bijak dalam mengambil keputusan. Dia menemukan bahwa pengembangan identitas itu tidaklah selalu  konsisten karena identitas sebagai peta atau wilayah psikologis secara terus menerus berubah dan berkembang secara bertahap, sementara itu perkembangan tersebut berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lain, antara satu waktu dengan waktu yang lain. Bahkan, pengembangan dan perubahan identitas itu menjadi sangat cepat jika ada krisis atau kejadian penting yang mengancam. Acapkali krisis yang dihadapi manusia merupakan batu ujian dan bahkan mendorong interaksi antara identitas individu dan kelompok.
Jadi, pendekatan objektif itu yakni pendekatan struktural dan pendekatan psikologi-sosial terhadap identitas etnik yang berusaha mengukur pengaruh struktrur sosial terhadap identitas etnik subjek penelitian melalui peranan, sosialisasi, dan keanggotaan kelompok mereka. Para penganutnya memandang individu-individu sebagai produk-produk pasif dari kekuatan-kekuatan sosial. Pendekatan struktural menganggap bahwa perubahan pada identitas etnik, sebagaimana disebabkan kekuatan-kekuatan individu, menimbulkan perubahan-perubahan pada nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap dan perilaku etnik yang dapat diukur secara objektif dan dianalisis secara kuantitatif. Sedangkan pendekatan psikologi sosial berasumsi bahwa kehidupan dan perilaku individu tidak sendirian, individu ada didalam lingkungan sosial, sehingga identitas individu dibentuk oleh identitas lingkungan sosial dan menghasilkan peranan setiap individu berbeda sesuai dengan kondisi dan tempat ia berada.

II.3 PENDEKATAN SUBJEKTIF ( Fenomenologis )
            Pendekatan subyektif dalam kata lain sering dipahami sebagai pendekatan fenomenologis dalam arti merupakan tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara umum bergantung pada pengamatan manusia dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya maupun peristilahannya. Pendekatan ini memandang identitas etnik mengemukakan tanda-tanda budaya dalam suatu kaum untuk menekankan diri dan juga menjaga perasaan identitas yang berkaitan dengan pengakuannya oleh orang lain.
Pendekatan subyektif cenderung memandang manusia yang mereka amati sebagai aktif, dinamis, serta mampu melakukan perubahan lingkungan di sekeliling mereka, ini dikarenakan manusia berbeda dengan benda. Hal ini dimaksudkan bahwa benda bersifat mati dan tidak dapat bertindak, sedangkan manusia bersifat hidup dan bertindak dalam berbagai hal.
Fokus perhatian kaum subjektivis adalah bagian perilaku manusia yang disebut tindakan (action), seperti : gerakan tubuh, ucapan, suara, dll. Jadi jelas bahwa manusia berbeda dengan hewan, tumbuhan, benda, karena manusia mempunyai pikiran, kepercayaan, keinginan, niat, maksud, dan tujuan. Semua hal itu memberi makna kepada kehidupan dan tindakan mereka, dan membuat kehidupan dan tindakan tersebut dapat dijelaskan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh suatu kaum etnik untuk mengalami siklus perubahan identitas atau etnik,  pendekatan subjektif tidak akan mengukur pengaruh dan hubungan antar variabel sebagaimana dalam penelitian objektif, tetapi lebih kepada mengembangkan konsep, memberikan realitas ganda, menciptakan teori dasar (grounded theory), dan mengembangkan pemahaman. Sehingga penelitian yang menggunakan perspektif ini cenderung peneliti akan menjadikan dirinya sebagai bagian dari kebudayaan yang dia teliti, atau dengan kata lain peneliti bertindak sebagai partisipan karena dia akan masuk dalam suatu struktur kebudayaan tertentu dan harus mempelajari kebudayaan yang berada didalamnya. (Liliweri,2001:34)
Kekurangan dalam penelitian subyektif ini dimana penelliti akan menolak masukan variabel kebudayaan lain ke dalam kebudayaan yang sedang diteliti. Oleh karena itu, para peneliti yang menggunakan perspektif ini kerap kali mendapat kritik karena gambaran yang diberikan tentang kebudayaan yang ditelitinya terlalu sedikit. Pendekatan subjektif pun sering mengkritik peneliti yang menarik kesimpulan tentang suatu budaya tertentu berdasarkan ukuran-ukuran yang berlaku pada kebudayaan lain.
            Terdapat tiga tipe identitas Bengali India berdasarkan interaksi mereka dengan orang-orang Amerika, yaitu : mereka yang tidak memiliki hubungan yang signifikan di luar komunitas etnik mereka, mereka yang memiliki paling tidak hubungan pribadi yang signifikan dengan orang-orang Amerika tapi secara substansial tidak terlibat dalam kehidupan publik atau bermasyarakat, dan mereka yang memiliki kegiatan publik yang signifikan tetapi tanpa hubungan pribadi di luar komunitas etnik mereka yang memiliki kegiatan penting dalam kehidupan public dan hubungan pribadi, intern yang signifikan dengan orang-orang baru Amerika.
            Dari kesimpulan diatas terdapat bentuk-bentuk identifikasi dari suatu kelompok atau etnik yang sangat berbeda bahwa sebagian etnik bersifat statik dan mengabaikan kemungkinan-kemungkinan bahwa anggota-anggota etnik harus mengubah kategori mereka untuk menyesuaikan diri dengan situasi lingkungan dan perkembangan baru dari etnik tersebut.

 
II.4 MODEL-MODEL PERUBAHAN IDENTITAS ETNIK
Pada dasarnya identitas etnik muncul bila dua atau lebih kelompok etnik berhubungan. Pada masa lalu terdapat berbagai model tentang tabiat dan proses transformasi identitas etnik, terutama model akulturasi dan model asimilasi yang kadang-kadang dipertukarkan. Asimilasi cenderung sejajar dengan hilangnya etnisitas, sementara pluralisme budaya cenderung menonjolkan kesinambungan etnisitas (Kim, 1988:30). Asimilasi merujuk pada  “ sejauh mana suatu kelompok yang semula khas telah kehilangan identitas subjektifnya dan telah terserap kedalam struktur sosial suatu kelompok lain. Memang ,akulturasi adalah suatu prasyarat, atau sekurang-kurangnya seiring dengan asimilasi karena bagaimana mungkin seseorang kehilangan perasaan khasnya dan sepenuhnya diterima suatu kelompok lain kecuali bila ia lancar dalam bahasa dan budaya kelompok penerima
Konsep akulturasi dan konsep asimilasi bermula dari dan berkembang di Amerika Serikat. Perbedaan diantara dua proses itu adalah bahwa akulturasi merupakan proses dua arah, sedangkan asimilasi merupakan proses satu arah. Sejak definisi yang autoritatif muncul, banyak ahli mengemukakan definisi akulturasi. Banyak definisi mengandung interpretasi serupa, yaitu bahwa akulturasi adalah suatu bentuk perubahan budaya yang diakibatkan oleh kontak kelompok- kelompok budaya, yang menekankan penerimaan pola-pola dan budaya baru dan ciri-ciri masyarakat pribumi oleh kelompok- kelompok minoritas.
Sebuah definisi asimilasi di kemukakan oleh Park dan Burgess :
Asimilasi adalah suatu proses interprenetasi dan fusi. Melalui proses ini orang- orang dan kelompok- kelompok memperoleh memori- memori, sentimen- sentimen dan sikap- sikap orang- orang atas kelompok- kelompok lainnya, dengan berbagai pengalaman dan sejarah, tergabung dengan mereka dalam suatu kehidupan budaya yang sama (1969: 735).
Di Amerika Serikat khususnya, ada gagasan populer bahwa asimilasi merupakan akibat kelompok- kelompok minoritas memasuki budaya dominan dan bahwa kelompok- kelompok minoritas secara bertahap akan kehilangan identitas etnik mereka yang membedakan mereka dari kelompok dominan. Karena beberapa kelompok minoritas yang sudah mulai terpengaruh dan tergeser dengan budaya mayoritas yang sangat diperlihat jelaskan di masyarakat.

Dalam hal ini asimilasi menghasilkan dua akibat :
1)   Kelompok minoritas kehilangan keunikannya dan menyerupai kelompok mayoritas.  Dalam konteks itu kelompok mayoritas tidak berubah.
2)   Kelompok etnik dan kelompok mayoritas bercampur secara homogen. Masing- masing kelompok kehilangan keunikannya, lalu muncul suatu produk unik lainnya, suatu proses yang disebut Belanga Pencampuran (Melting Pot) (Jiobu, 1988:6).

Sebenarnya hal yang seharusnya dilakukan adalah mempertahankan budaya masing- masing, mau itu dari kelompok mayoritas maupun minoritas karena menekan kebudayaan minoritas akan sangat disayangkan. Kelompok mayoritas pun jangn bercampur begitu saja hingga kehilangan keunikannya, semakin banyak dan beragamnya keunikan budaya makan akan semakin menarik dan dapat saling menghargai budaya dari masing – masing tempat.


Pada tahun 1920-an banyak kelompok etnik yang datang ke Amerika Serikat sebagai imigran, kelompok- kelompok etnik tersebut tetap memelihara keunikan mereka masing- masing. Namun tak lama kemudian, muncullah gagasan pluralisme budaya yang menentang gagasan asimilasi. Pluralisme budaya menunjukkan, adalah tidak benar bahwa kelompok- kelompok minoritas akan berasimilasi dengan budaya dominan.

1 komentar:

  1. mohon maaf ini ada acuan/sumber dalam bentuk pdfnya nggak mba? buat referensi,kalo ada boleh di email ke uffi.fm02@gmail.com
    makasih banyak sebelumnya

    BalasHapus